Matanya bukan sekadar sumur— melainkan musim hujan. Gumpalan badai di batas pelupuk, sedikit hentakan, bisa meruntuhkan seluruhnya. Hatinya seperti kelopak terbuka, rentan gemetar sekalipun angin meniupnya pelan, memikul suara yang tak sempat lahir, dan menggigil pada rasa getir. tapi— di tengah ketidakberdayaannya, saat cahaya hanya tinggal sisa bayang, ada mereka yang bertahan, menegaskan bahwa dalam cekat, ia tak pernah benar-benar sendiri. untuk mereka— sauh di lautan gelisahnya, mata-mata yang melihat bukan hanya badainya, membuktikan ia tidak terabaikan, —ia ditemani. dan yang terpenting— terima kasih, karena menerima segala rumit, mendekap sisi-sisi yang tajam, meski yang terbentang kusut dan jauh dari sempurna. semoga, sebagaimana perempuan itu diterima, kamu pun—juga.
I was a mosaic of broken pieces, a melody written in minor keys. I thought my heart spoke only in loss, until you learned to speak it. You didn’t just bring me light; you became the calm where my own could rise again. You carried my scars not as flaws, but as maps of where I’d been— living proof that I survived. With every quiet patience, you helped me turn the past into the prologue of our future. Thank you for being my safe harbor, my soft landing, my greatest gift. You didn’t just love me— you taught me to return to myself, and to love what I found there. -- by Fitri Wulandari