Skip to main content

Memasak Bukan Soal Memasak

Memasak bukan sekadar aktivitas fisik atau kata kerja. Memasak adalah persoalan tentang bagaimana kita mengelola emosi, waktu, dan bahkan menjalankan mekanisme bertahan hidup. Tentang bagaimana kita menentukan prioritas—bahan masakan mana yang paling cepat busuk dan mana yang lebih tahan lama. Juga tentang bagaimana perasaan kita saat melakukannya: merasa senang, atau justru terbebani.

---

Enam bulan sudah aku tinggal di kota rantau. Hal yang gak pernah ku bayangkan sebelumnya, atau bahkan Keputusanku saat itu dibuat secepat mungkin. Banyak hal yang berubah dan berdampak dari perpindahanku disini. Yang terbesar adalah bagaimana aku memulihkan perasaanku atas banyak hal yang terjadi di beberapa waktu lalu.

Kata orang, kalau perasaan dan jiwa kita terlalu sesak di tempat itu, pindah kotanya. Mungkin benar, tapi tidak mewakili seluruhnya. Karena pindah kota bukan satu-satunya hal yang harus dilakukan, sejauh apapun, seasing apapun, perasaan itu akan terus membersamai diri kita dimanapun kita berada.

Tapi setidaknya dalam kesendirian, justru kita semakin bisa mengenal. Dalam kesendirian, kita bisa sangat jujur dengan apa yang membuat kita takut, marah, senang, dan lainnya. Proses itu gak mudah, sebagaimana yang ku tulis sebelumnya, perasaan itu akan terus membersamai diri kita dimanapun kita berada.

Menarik diri dari beberapa orang ku kira akan membuat segalanya lebih mudah, tetapi justru menarik diri dengan mengabaikan keberadaan orang-orang disekitar justru memberi ruang lebih besar bagi rasa takut yang belum selesai kita hadapi. Lagi-lagi, hanya penerimaan yang bisa memberi ketenangan.

Dari sekian banyak bentuk penerimaan, kali ini aku ingin membahas satu yang sangat sederhana: menerima bahwa tidak akan ada orang yang memberiku makanan jika aku sendiri tidak bergerak (yaiyalah). Ya, pilihannya cuma dua—membeli, atau memasak.

Dulu aku menganggap memasak hanyalah keterampilan dasar yang perlu dimiliki (gak harus enak, setidaknya bisa dimakan sendiri). Tapi semakin disadari, memasak justru menjadi coping mechanism tersendiri buatku.

Ketika memasak, pikiranku tercurahkan hanya pada bahan masakan, menunggu matang, mengoreksi rasa, dan menyajikannya dengan cantik -gak penting-penting amat, tapi cukup memuaskan.

Memasak adalah perjalanan. Membersihkan, memotong, mencampur, mengolah, menyajikan. Proses itu gak terjadi dalam satu langkah, tetapi membutuhkan urutan, waktu, dan perhatian. Sama halnya dengan hidup—yang memberi kita ruang untuk mengolah pengalaman, memperbaiki kegagalan (mengoreksi rasa), dan menyajikan versi diri yang lebih baik dengan cara dan waktu kita sendiri—sesuai selera masing-masing.

Atau kalau boleh jujur, memasak menjadi satu-satunya kegiatan yang terasa tuntas bisa kukerjakan saat itu juga. Ketika ada hal yang bisa dituntaskan seketika, tubuh kita memberi sinyal lega—melepas endorfin—dan membuat kita merasa jauh lebih stabil untuk menjalani hari.

Namun, memasak bukan hanya soal endorfin atau rasa senang. Ia menyentuh hal-hal mendasar dalam hidup: rasa kendali, kreativitas, kestabilan emosi, dan bahkan koneksi sosial. Itulah mengapa banyak orang—tanpa sadar—menjadikan memasak sebagai bentuk self-healing. Bukan karena lapar, tapi karena ingin merasa utuh kembali.

Ketika kita memotong bahan masakan —menenangkan pikiran, memberi rasa fokus, dan menghadirkan kendali atas hidup.

Ketika kita menunggu bahan itu matang —memperkuat kepercayaan bahwa kita mampu menyelesaikan sesuatu, bahkan ketika hidup terasa berantakan.

Ketika makanan siap disantap —memberi rasa makna dalam keseharian dan melawan kehampaan yang diam-diam hadir.

Dan ketika ada orang lain yang mencicipi —meredakan rasa kesepian dan membangun koneksi  

Memasak, bagiku, bukan semata soal perut kenyang atau nutrisi yang masuk ke tubuh. Inilah yang benar-benar kumaknai: bahwa memasak adalah cara sederhana untuk bertahan hidup.

 

Sidoarjo, 300625
Fitri Wulandari

 

Comments

Popular posts from this blog

Kenalan

"Menulis adalah bekerja untuk sebuah keabadian" - Mr.Pramoedya Ananta Hollaa pertama-tama saya ucapkan hamdalah dan rasa syukur kepada Allah karna saya telah menyelesaikan pendidikan tingkat SMP (gue alumni SMPN 9 Bekasi-iya, ini ga penting) dan akan melanjutkan tingkat SMK tepatnya di SMKN 1 Bekasi. Fitri Wulandari. Lengkap gue. Nama yg terlihat 'biasa' dan  'sederhana'. Sesederhana roti tawar yg lo beli dialfamart.  Tapi ketika lo mencoba 'mensyukuri', 'menikmati', dan mengubahnya menjadi rotibakar/ sandwhich tentu akan menghasilkan rasa yg luar biasa. Nama yg terlihat pasaran tapi di dalamnya penuh keistimewaan. Nama singkat yg terkesan payah tapi didalamnya ada banyak berkah. Aamiinn. Remaja, masa dimana ingin mengekspresikan diri dan tulisan adalah bagian dari representasi ekpresi diri. Cita- cita gue ingin jadi orang bahagia - as simple as that ,  Gue suka berfikir out of the box , suka berfantasi dengan sight yang abs...

Sendiri Bukan Berarti Bebas (Opini#1)

Ternyata sendiri ga selamanya menyenangkan.  Ternyata sendiri jauh dari ekspetasi. Ternyata sendiri bukan berarti bebas. Apalagi sambil mengingat kawan lama, ternyata semua ga sesuai. Doa itu terkabul sambil terseret penyesalan. Pernah terucap tak menginginkan kawan dekat itu sesalnya. Alasannya ingin sendiri ya karena tidak ingin kecewa lagi dan terulang bagian lalu.”Teman dekatmu adalah peluang besar menjatuhkan mu” alasan lain. Satu hal, kenyataan yang kita harapkan ga akan pernah ada sampai kapanpun. Kata kuncinya, nikmatin. Ya gue harus nikmatin jalan yang udah semestinya gue lewatin. Mungkin gue terlalu fokus dengan ekspetasi mengejar  kesenangan diri sendiri. Sampe gue lupa, yang ada disekitar gue ternyata lebih berharga dari apapun. Momen sendiri membuat gue belajar dan sadar akan banyak hal. Ketika gue memasuki lingkungan baru dimana posisi gue teramat asing, hal itu terasa.  Ya gue sendirian. Tanpa partner. Bingung. Sekelibat kalimat “gue butuh lo disini, te...

Gerimis Kalimalang

Satu tetes mengisahkan dua kenangan Di bawah kios itu kita pernah meracik rasa Lekukan garis di ujung bibir mulai terngiang Membentuk konstruksi sederhana perihal cinta Pernyataan dan pertanyaan itu yang kuingat Seruput kuah kembali menalar Tempat ini masih sama Dengan sudut dimana aku bersua Adrenalin mulai terperanjat Hipokampus mulai memilah Dan alveolus mulai melambat Aku sesak.. Dua tetes menciptakan satu harapan Pahatan wajah Maha karya Tuhan yang paling indah Satu bagian mulai menggebu-gebu Yang kusebut itu rindu Semut-semut bebas berarak-arak Berpesta pora merayakan kelu berbalut asa Pertanyaan klise mulai muncul Argumen apa? mengapa aku kembali? Ohh…majas mana yang harus ku pilih? Hiperbola si berlebihan? Atau personifikasi si umpama Simile juga tentu menjadi pilihan Bukan… Ini lebih dari sekedar barisan kata menyambung Ini tentang secarik kecil cerita kita Yang sempat terobek dimakan waktu Tiga tetes meng...